Minggu, 13 Oktober 2013

Kusebut ini Bangga

Seseorang sempat memberiku satu kata. Sesuatu yang kemudian berulang-ulang kuucapkan. Bangga. 

Kalian mungkin bertanya, bagaimana kata tersebut melekat dengan penuh di kepalaku. Sama seperti hitungan satu ditambah satu yang tak pernah kalian lupa bahwa jawabannya adalah dua. Mungkin sudah saatnya kalian mendengar dariku. Apa yang menjadikan kata 'bangga' itu menempel di otakku. 

Ketika aku melihatnya, pria yang tak pernah kulepas pelukannya, mengatakan bahwa semestanya ada dalam setiap senyumanku. Kalian harus tahu, bahwa setiap kali mendengarnya mengatakan itu, aku seperti mendapat semua penghargaan di dunia dijadikan satu. Dan aku bangga karenanya, bangga karena telah menaklukan semesta hanya dalam sebuah senyuman. Kuharap kalian juga punya kebanggaan yang penuh cinta sepertiku.

Kebanggaan lain, bagiku tentu saja, ketika aku melihat ke arah jalanan kota, dengan segala kemacetannya, riuh bunyi klakson yang nyaris tanpa henti, sampai suara-suara sumbang pengamen bertato dan rambut gimbal, dan aku berdiri dengan payungku. Berjalan dengan langkah ringan menyusuri trotoar. Kalian tahu, bahkan sebuah payung merah marun pun bisa membuatku bangga. Karena tentu saja, pikiranku tidak pernah seruwet mereka yang tak sabar dan menekan-nekan tombol klakson (padahal mereka tahu itu tak akan mengubah lampu merah menjadi hijau), dan setidaknya, payungku bisa melindungiku dari matahari dan hujan. Dan aku tetap bisa bernyanyi tanpa mengharapkan recehan dari orang-orang yang kadang malas merogoh kantung mereka. 

Aku masih punya sederet kebanggaan lain, jika kalian mau mendengarkan. Tenang saja, aku tidak akan membanggakan pekerjaan atau karya-karyaku (yang tentu saja bisa kalian temukan di mesin pencari dengan mengetik namaku). Aku hanya ingin membanggakan ruang berukuran 3x4 yang menjadi rumahku. Aku tidak menemukan kata lain yang lebih tepat selain rumah. Karena di sanalah ada cinta dari keluargaku (lewat kiriman-kiriman mereka, entah itu makanan kecil atau bahkan kain pel). Meja belajar yang penuh dengan tumpukan buku, make up, botol minuman, juga bermacam-macam aksesoris. Tempat tidur yang selalu hangat dan dipenuhi dengan boneka-boneka berukuran tanggung yang selalu kupeluk (mengingatkanku pada pria penyuka senyumku itu). Aku senang menempati ruang ini. Bangga karena ruang sekecil ini memberiku lebih dari sekadar kamar. Karena tak perlu besar untuk mendapatkan sebuah rumah. Ya, kan?

Ketika aku akhirnya berselancar lewat akun jejaring sosial, tak ada yang lebih menyenangkan selain mendapat teman-teman baru. Kalian tentu tahu, ada ratusan jenis manusia di sana. Aku bahkan mengenal blogger, filmmaker, penyanyi amatiran, penulis, sosialita, dan puluhan lainnya. Dan tak ada yang lebih membanggakan selain mengenal mereka, mengenal karya-karya mereka, salah satunya adalah Evi Sri Rezeki. Sudah bisa menebak apa yang akan kukatakan setelah ini? Ya, aku senang mengenalnya. Bangga karena sempat menyaksikan peluncuran novel keduanya yang berjudul CineUs (di saat teman-teman yang lain tidak sempat hadir). Dan untuk kesekian kalinya, aku menonton lagi book trailer CineUs, ini:



aku tak pernah membayangkan  Evi akan se-keren ini. Book trailer, promo buku besar-besaran, sponsor yang luar biasa. Dan dukungan teman-teman yang begitu besar sempat membuatku iri. Tentu saja karena aku belum juga sampai di titik Evi berada sekarang. Tetapi, seperti yang ditulis dalam CineUs bahwa tidak selalu butuh pengakuan dari orang lain untuk merasa bangga, maka aku di sini, akan tetap mengikuti semangat Evi juga teman-teman yang lain. Mengejar apa yang disebut-sebut orang sebagai impian, dan menjadikannya nyata. 

1 komentar:

  1. Aaaa.... terharu deh bacanya :"). Bahagia deh bisa ketemu Riesna *peluk*

    BalasHapus