Rabu, 25 Desember 2013

Review Novel CineUS



Penulis             : Evi Sri Rezeki
Penerbit           : Noura Books
Cetakan           : I, Agustus 2013
Jumlah Hal.      : 304 halaman
ISBN               : 978-602-7816-56-5


Karena ditantang oleh Adit, Lena bertekad memenangkan 2 kategori dalam Festival Film Remaja, atau dia harus mencuci kaki Adit dan menggulung kabel selama setahun.

Diawali dengan sebuah peristiwa sederhana di atas, petualangan dalam novel ini dimulai. Lena, Dion, dan Dania adalah tiga tokoh sekaligus anggota Klub Film yang paling banyak disorot di sepanjang cerita. Kekurangan Klub Film yang bahkan tidak punya pembina dari sekolah, dana yang pas-pasan juga SDM yang seadanya, membuat klub ini kesulitan menghasilkan karya yang bagus. Sampai suatu hari Lena bertemu dengan kreator web series favoritnya, Rizki, yang ternyata bersekolah di sekolah yang sama dengan Lena. Kontan saja Lena senang bukan main, dia segera merekrut Rizki untuk masuk ke dalam Klub Film dan membantu klubnya agar bisa menang di Festival Film Remaja, dan tentu saja membantu Lena memenangkan taruhan dengan Adit.

Sayangnya, masuknya Rizki dan Ryan (partner Rizki), membuat Klub Film justru terpecah. Ryan yang dengan jujur mengatakan bahwa Klub Film belum bisa menghasilkan karya yang bagus, membuat banyak anggota lain berpikir ulang untuk bertahan di klub tersebut. Jadilah beberapa anggota keluar dari klub, menyisakan Lena, Dania, Dion plus Rizki dan Ryan.

Bagaimana cara Klub film menang Festival Film Remaja, dan apakah Lena berhasil mengalahkan Adit, adalah pertanyaan sepanjang cerita ini. Di bawah frame itu, penulis juga masih menyisipkan cerita lain, yang paling terasa adalah tentang Dion yang mengidap ADHD (Attention Deficit Hyperoactivity Disorder), di mana anak yang mengidap ADHD akan sulit fokus pada satu hal, pelupa, juga impulsif. Yang menarik bagi saya adalah ketika Dion sebenarnya berusaha mengatasi masalahnya, dan betapa bagi anak seperti Dion, sahabat menjadi salah satu bagian yang berharga dalam hidupnya. Lalu ketika Dion mendapati teman-temannya sempat marah besar padanya, keikhlasan Dion untuk memaafkan menjadi sebuah potongan cerita yang cukup menyentuh.

Salah satu bagian yang paling menarik bagi saya adalah ketika ternyata tujuan tokohnya tercapai, cerita tidak dibuat selesai. Kemenangan Lena atas skenario yang ternyata adalah milik Rizki, membuat Lena dituduh sebagai pencuri. Dan Lena dihadapkan pada pilihan, mengaku bahwa skenario itu bukan miliknya dan dia tidak berhak menang, yang berarti dia kalah taruhan dengan Adit, atau tetap membiarkan dirinya menang dengan resiko kehilangan Rizki yang sudah membantunya.
Saya lebih suka menuliskan ini secara berurutan:

1.       Potensi
Ide cerita menarik. Klub sekolah (terutama klub film) jarang dijadikan materi novel. Satu-satunya novel Indonesia lain tentang klub sekolah yang pernah saya baca hanya Cosplay The Series karya Bonni Rambatan, selain itu belum ada lagi. Entahlah, mungkin saya yang kurang baca.
Untuk anak usia SMA, saya rasa akan sangat relate dengan cerita ini. Banyak quotes dalam CineUs yang bisa dipakai, terutama soal perjuangan, persahabatan, tentang apresiasi karya, bagaimana menjaga impian dan mewujudkannya, dengan cara yang tidak menggurui. Saya yakin kalaupun saya nggak menuliskan itu semua di sini, tetapi kalian bisa googling keyword quotes CineUs dan banyak menemukannya di sana.

2.       Plot
Cukup rapi, meskipun ada beberapa yang bisa dibikin lebih rapi lagi. Tapi saya nggak terlalu banyak menemukan masalah di bagian ini. Sequence dari keseluruhan cerita juga sudah cukup oke.

3.       Karakter
Saya merasakan value hampir pada setiap karakternya. Keragaman karakter yang diberikan penulis juga cukup oke. Nice enough.
3.1. Lena              : Cukup ambisius, dalam artian yang baik. Dia tahu apa yang menjadi tujuannya, tahu apa yang harus dia raih dan berusaha untuk mendapatkan itu.
3.2. Rizki               : Cowok yang low profile menurut saya. Konsisten dan jujur.
3.3. Ryan              : Sedikit temperamental, dan ceplas-ceplos.
3.4. Dania             : Karakter ini nggak terlalu kuat sebenarnya, tapi masih cukup oke.
3.5. Dion               :Tulus, meskipun dia punya kekurangan yang kadang sulit diterima, tapi karakternya cukup lovable.
Note      : saya kurang suka ketika para anggota klub marah pada Dion. Mereka seakan-akan memang menganggap Dion adalah anak bodoh, tolol dan gila. Padahal, di ada satu bagian yang menyebutkan bahwa sebenarnya Lena dan kawan-kawannya mengerti tentang kekurangan Dion, tetapi mereka memperlakukan Dion seperti orang idiot sungguhan. Bahkan di sepanjang cerita mereka kerap mengejek Dion dan memanggilnya Oon. Kalau memang penulis ingin memberi pengetahuan baru tentang ADHD, ada baiknya penulis juga memberi info tentang bagaimana bergaul dan memperlakukan penderita ADHD. Menurut saya cara memperlakukan penderita ADHD dalam novel ini kurang bijaksana.

4.       Logika Cerita
Maafkan kalau bagian ini mungkin akan jadi bagian yang lebih panjang dari poin yang lain.

4.1. Honestly saya langsung terganggu ketika membuka halaman pertama prolog, dan langsung mengernyitkan dahi. Pada bagian,

Mataku tak berkedip hampir lima menit. (hal. ix)

Saya sama sekali nggak ngerti. Kalimat itu nggak logis. I dare you to open your eyes without blinking for 2 minutes, if you can. Saya semenit aja nggak kuat. Saya nggak ngerti Lena ini manusia macam apa yang bisa melek tanpa kedip selama itu.

4.2. Bagian ini,

Langkah mang Duloh sudah semakin dekat, kuperkirakan dua ratus kilometer lagi dari belokan lorong ini. berarti, aku akan segera terlihat olehnya. (hal. 65-66)

200 meter! Dua ratus meter! Saya bahkan nggak yakin dengan siapa yang saya lihat dan apa yang saya dengar dalam jarak 50 meter. Mungkin Lena punya sixth sense yang bisa tahu kalau itu mang Duloh baik dari orangnya dan langkah kakinya dari jarak 200 meter.

4.3. Ini,

Rizki memanjat gerbang yang sudah digembok. Gerbang tersebut setinggi sepuluh kali panjang kaki orang dewasa. (hal. 69)

Kecuali penulis menggunakan kata “setinggi sepuluh kaki”—1 kaki sama dengan 0,3 meter—saya akan lebih bisa membayangkan tinggi gerbang tersebut. Saya sama sekali nggak tahu berapa tinggi itu sepuluh kali panjang kaki orang dewasa.

4.4. Di halaman 80, ada adegan di mana Lena meminta Rizki untuk masuk ke Klub Film, kalau tidak Lena akan membocorkan pada semua orang bahwa Rizki adalah kreator web series yang keren abis itu.
Saya nggak ngerti sama ancaman Lena. Ancamannya nggak real. Nggak nakutin. Nggak membuat Rizki harus membantu Lena dan Klub Film. Kalau saya jadi Rizki, saya mah terserah kalau mau dibocorin. Toh Lena nggak punya bukti kalau Rizki itu kreator Stream of Stars, kecuali Lena nekat bawa temen-temennya ke bunker itu, misalnya—yang menurutku bakal jadi maksa abis.
Entahlah, bagiku bagian itu terkesan maksa. Penulis berusaha mencari cara untuk memasukkan Rizki ke Klub Film, tapi sayangnya nggak ada stake yang dinaikkan di sana.

4.5. Sampai  sekitar halaman 100-an, saya sadar sadar dan garuk-garuk kepala. Ini kenapa cerita diskors-nya jadi ilang? Terus selama Lena diskors dia ngapain? Orang tuanya gimana? Lena gimana? Padahal ada kalimat,

Namun pak Kandar tidak akan melepaskanku begitu saja. Dia pasti akan menghubungi orangtuaku. Aku harus bertindak lebih cepat. (hal. 81)

Setelah membaca kalimat itu, saya sempat yakin penulis akan memberikan sebuah kejadian yang seru, stake yang naik, dan pertaruhan yang bertambah. Saya bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan pak Kandar pada orangtua Lena? Bagaimana reaksi orangtua Lena? Apakah Lena juga akan dihukum oleh orangtuanya dan akan sulit menyiapkan film bersama klubnya? Apa yang akan dilakukan Lena setelahnya? Dan itu semua nggak ada sampai cerita habis. Sejujurnya saya kecewa. Bagi saya lebih baik tidak menjanjikan sebuah kejadian yang seru jika ternyata tidak bisa pay off dalam cerita.

4.6. Lalu ini,

Dingin menyebar ke seluruh tubuh, terutama bagian jari-jemari yang terus digenggam Rizki. (hal. 87)
Digenggam bukannya jadi hangat? Apalagi penulis menggunakan kata “terutama” yang berarti dikhususkan. Tangannya justru jadi lebih dingin daripada bagian tubuh lain, gitu?

4.7. Dan ini,
Avanza yang kami naiki maju setapak demi setapak (hal, 209)

Tapak itu digunakan untuk kaki. Avanza itu mobil, pakai roda, bukan kaki.

4.8. Ini juga,

Aduh, sekarang aku terdengar penasaran berat. Sampai-sampai lupa bernapas saat menunggu jawaban Rizki. (hal. 203)

Manusia macam apa yang bisa lupa bernapas tapi tetap hidup normal? Saya memaklumi orang yang lupa makan, lupa menaruh kacamata atau lupa jadwal kuliah, tetapi saya sangat tidak mengerti dengan orang yang lupa bernapas? Bahkan bernapas tidak terjadwal, bukan juga barang yang kita bawa-bawa. Apa pun keadaannya kamu akan bernapas, kalau tidak lewat hidung, ya, lewat mulut, kalau tidak, ya, mati.

5.       Teknis

5.1. Honestly, saya nggak tahu kenapa banyak dialog dan narasi yang menggunakan titik-titik dan spasi dalam satu kalimat. Saya mengerti mungkin penulis ingin membuat dialog karakter yang sedang berbicara patah-patah, atau menggantung. Sayangnya, dengan cara yang kurang tepat menurut saya. Contoh:

“Ki … ki … kita berhasil!” (hal. x)

“I … i … ni … u … dah … ba … ca?” (hal. xvi)

“A … aku enggak pernah bermaksud kayak gitu … a-apa aku enggak berhak menang? (hal. 27)
Ngomong-ngomong di kata “aku” yang pertama penulis menggunakan “…” tetapi di “apa”, penulis menggunakan “a-apa”. Berarti mungkin “…” bukan dimaksudkan untuk kata yang diucapkan patah atau terbata?

Mayat-mayat bergelimpangan dengan darah menetes-netes … hiii … Bulu kudukku meremang. (hal. 89)

Dan masih banyak contoh lain di panjang cerita. Saya berasa baca pertanyaan LKS yang perintahnya “Isilah titik-titik berikut dengan jawaban yang benar!”

5.2. Efektivitas kata

Sedari siang, aku, Dania, dan Dion sudah berkumpul di aula. (hal. xiii)

Di kalimat sebelum bagian ini sudah dijelaskan, kok, kalo karakter yang sedang bermain adalah Lena, Dania dan Dion. Menurut saya lebih baik jika memakai, “Sedari siang kami sudah berkumpul di Aula.”

5.3. Pemilihan Kata
-          Kantung mataku menggelantung. Dari kata gelantung yang berarti hendak lepas. katung matanya bukan mau lepas, kan? Menghitam, mungkin.
-           Mengintili. saya lebih suka menggunakan kata mengikuti ketimbang mengintili yang tidak ada dalam KBBI. Kalaupun yang dimaksud adalah kata daerah, ngintil saya rasa lebih benar dengan italic font. Mengintili ini seperti kata yang dipaksakan.
-          Halaman 158, ditulis, Dasar lo memang budak bego!” Kata Ryan.
Saya benar-benar terganggu dengan kata “budak”. Pertama, konotasinya negatif. Dion bukan budak. Kedua, kalaupun yang dimaksud dengan “budak” adalah “anak” dalam bahasa Sunda, bukankah lebih baik jika ditulis miring? Belum tentu pembaca kita tahu apa arti “budak” dalam bahasa Sunda.

5.4. Pemenggalan Kalimat
Pada halaman xii, kata “kemudian ditulis pada awal paragraf. Setahu saya, kata “kemudian” diletakkan mengikuti kalimat di depannya, bukan sebagai pembuka paragraf. Dan kesan yang langsung bisa ditangkap adalah adegannya terasa patah.

5.5. Pengadeganan

Aku tidak bisa memperhatikannya lebih detail karena pandanganku terhalang tubuh Anak Hantu yang gempal, tetapi nyaman dan hangat seperti bantal. Rambutnya halus sekali menerpa pipiku. Aku baru sadar kalau rambutnya agak panjang. (hal. 66)

Pertama, saya langsung menggarisbawahi bagian “pandanganku terhalang tubuh Anak Hantu” berarti bagian kepala Lena, terhalang oleh tubuh Anak Hantu, karena kalau bukan bagian kepala Lena terutama mata yang terhalang, berarti Lena masih bisa memperhatikan, kan? Kedua, “Rambutnya halus sekali menerpa pipiku.”

Yang saya nggak ngerti adalah Lena ini lagi tiduran di badannya Anak Hantu gitu? Kok tahu kalau badannya nyaman kayak bantal? Saya deket sama bantal aja nggak langsung bilang kalo itu nyaman, kecuali kepala saya sudah saya rebahkan di sana. Lalu, gimana bisa rambut Anak Hantu menerpa pipi Lena? Pertama, dilihat dari posisinya, Lena jelas lebih pendek, dan nggak ketahuan itu rambut segimana panjangnya sampai bisa menyentuh pipi Lena. Kedua, saya nggak ngerti itu gimana rambut bisa menerpa. Kata menerpa itu digunakan oleh benda yang bekerja. Angin, gelombang, ombak, dsb. Kecuali rambut itu tertiup angin, maka kata menerpa nggak bisa digunakan di sini. Cek KBBI.

“He’s not my type, you know! By the way, kamu juga suka sama dia, kan?”
“Ya, kali, sudah ganti tipe! Ngomongin soal tipe, dia juga bukan orang yang bakal aku suka.”
(hal. 192)

Instead of menggunakan adegan di atas, saya, kok lebih nyaman kalau kalian itu dipecah. Saya mencoba membaca dialog itu—I mean, benar-benar membacanya—dan tidak terdengar natural.
“He’s not my type, you know!”
“Ya, kali, sudah ganti tipe.”
“By the way, kamu juga suka sama dia, kan?”
“Dan ngomongin soal tipe, dia juga bukan orang yang bakal aku suka.”

Mungkin itu lebih enak didengarkan. Mungkin.
Anyway, tetap saja, novel ini menjadi salah satu buku yang layak dibaca, terutama bagi remaja. Generally, ceritanya real. Bagian-bagian lain seperti cover dan ilustrasi juga dikerjakan dengan cukup baik. Pemilihan judul juga, saya rasa, dipikirkan dengan baik pula. Mengingat novel ini akan dibuat berseri, membuat saya ingin membaca lanjutannya. Dan saya yakin, penulis akan mampu membuat cerita yang lebih keren dari pada sebelumnya.
Dari semua poin yang saya tulis di atas, saya memberi 3 dari 5 bintang untuk CineUs, terutama karena main story dalam novel ini memang dikerjakan dengan cukup baik.






Minggu, 13 Oktober 2013

Kusebut ini Bangga

Seseorang sempat memberiku satu kata. Sesuatu yang kemudian berulang-ulang kuucapkan. Bangga. 

Kalian mungkin bertanya, bagaimana kata tersebut melekat dengan penuh di kepalaku. Sama seperti hitungan satu ditambah satu yang tak pernah kalian lupa bahwa jawabannya adalah dua. Mungkin sudah saatnya kalian mendengar dariku. Apa yang menjadikan kata 'bangga' itu menempel di otakku. 

Ketika aku melihatnya, pria yang tak pernah kulepas pelukannya, mengatakan bahwa semestanya ada dalam setiap senyumanku. Kalian harus tahu, bahwa setiap kali mendengarnya mengatakan itu, aku seperti mendapat semua penghargaan di dunia dijadikan satu. Dan aku bangga karenanya, bangga karena telah menaklukan semesta hanya dalam sebuah senyuman. Kuharap kalian juga punya kebanggaan yang penuh cinta sepertiku.

Kebanggaan lain, bagiku tentu saja, ketika aku melihat ke arah jalanan kota, dengan segala kemacetannya, riuh bunyi klakson yang nyaris tanpa henti, sampai suara-suara sumbang pengamen bertato dan rambut gimbal, dan aku berdiri dengan payungku. Berjalan dengan langkah ringan menyusuri trotoar. Kalian tahu, bahkan sebuah payung merah marun pun bisa membuatku bangga. Karena tentu saja, pikiranku tidak pernah seruwet mereka yang tak sabar dan menekan-nekan tombol klakson (padahal mereka tahu itu tak akan mengubah lampu merah menjadi hijau), dan setidaknya, payungku bisa melindungiku dari matahari dan hujan. Dan aku tetap bisa bernyanyi tanpa mengharapkan recehan dari orang-orang yang kadang malas merogoh kantung mereka. 

Aku masih punya sederet kebanggaan lain, jika kalian mau mendengarkan. Tenang saja, aku tidak akan membanggakan pekerjaan atau karya-karyaku (yang tentu saja bisa kalian temukan di mesin pencari dengan mengetik namaku). Aku hanya ingin membanggakan ruang berukuran 3x4 yang menjadi rumahku. Aku tidak menemukan kata lain yang lebih tepat selain rumah. Karena di sanalah ada cinta dari keluargaku (lewat kiriman-kiriman mereka, entah itu makanan kecil atau bahkan kain pel). Meja belajar yang penuh dengan tumpukan buku, make up, botol minuman, juga bermacam-macam aksesoris. Tempat tidur yang selalu hangat dan dipenuhi dengan boneka-boneka berukuran tanggung yang selalu kupeluk (mengingatkanku pada pria penyuka senyumku itu). Aku senang menempati ruang ini. Bangga karena ruang sekecil ini memberiku lebih dari sekadar kamar. Karena tak perlu besar untuk mendapatkan sebuah rumah. Ya, kan?

Ketika aku akhirnya berselancar lewat akun jejaring sosial, tak ada yang lebih menyenangkan selain mendapat teman-teman baru. Kalian tentu tahu, ada ratusan jenis manusia di sana. Aku bahkan mengenal blogger, filmmaker, penyanyi amatiran, penulis, sosialita, dan puluhan lainnya. Dan tak ada yang lebih membanggakan selain mengenal mereka, mengenal karya-karya mereka, salah satunya adalah Evi Sri Rezeki. Sudah bisa menebak apa yang akan kukatakan setelah ini? Ya, aku senang mengenalnya. Bangga karena sempat menyaksikan peluncuran novel keduanya yang berjudul CineUs (di saat teman-teman yang lain tidak sempat hadir). Dan untuk kesekian kalinya, aku menonton lagi book trailer CineUs, ini:



aku tak pernah membayangkan  Evi akan se-keren ini. Book trailer, promo buku besar-besaran, sponsor yang luar biasa. Dan dukungan teman-teman yang begitu besar sempat membuatku iri. Tentu saja karena aku belum juga sampai di titik Evi berada sekarang. Tetapi, seperti yang ditulis dalam CineUs bahwa tidak selalu butuh pengakuan dari orang lain untuk merasa bangga, maka aku di sini, akan tetap mengikuti semangat Evi juga teman-teman yang lain. Mengejar apa yang disebut-sebut orang sebagai impian, dan menjadikannya nyata.